Friday, December 1, 2006

TERORIS YANG SEBENARNYA ADALAH PEMANASAN GLOBAL

Oleh Ari Satriyo Wibowo

“It is now clear that we face a deepening global climate crisis that require us to act boldly, quickly and wisely.”

Al Gore dalam “An Inconvenient Truth” (2006)

Kata-kata itu mungkin dapat mewakili presentasi Al Gore, mantan Wapres AS di masa pemerintahan Bill Clinton, yang sungguh mempesona sekaligus mencekam dalam film dokumenter “An Inconvenient Truth”. Tayangan berdurasi 100 menit karya sutradara David Guggenheim itu memikat karena disampaikan sarat dengan data dan tabel hasil penelitian bertahun-tahun. Sudah begitu, Al Gore sengaja memberikan ilustrasi dengan animasi kartun dan selingan humor sehingga penyajiannya terasa segar. Menyaksikan film dokumenter produksi Paramount Classic --- yang keping DVD-nya dapat diperoleh dengan mudah di kawasan Glodok, Jakarta --- seolah membawa penonton mengikuti sebuah kuliah terbuka dari seorang maha guru ulung di bidang lingkungan dengan dukungan efek multimedia yang menawan.

Ancaman pemanasan global memang nyata. Setiap peningkatan suhu sebesar 1 derajat di wilayah Khatulistiwa akan menciptakan peningkatan suhu sebesar 12 kali lipat di wilayah kutub Utara dan Selatan. Kekuatiran mencairnya es di kedua kutub semakin terlihat. Harian Indopos, 4 November 2006 lalu , misalnya, melaporkan bahwa sedikitnya 100 gunung es mengapung di Samudra Selatan, di sebelah Selatan Selandia Baru. Setelah menerima laporan tersebut, pihak Maritim Selandian Baru segera mengeluarkan peringatan navigasi kepada seluruh pengguna jalur perkapalan tersebut. Berdasarkan pengamatan Angkatan Udara Selandia Baru bongkahan es tersebut berukuran 2 x 1,5 kilometer persegi dengan tinggi sekitar 130 meter.

AS dan Australia adalah dua negara yang menolak menandatangani Protokol Kyoto 2002. Pemerintahan AS dibawah Presiden Bush berkilah bahwa menandatangani protokol itu akan mengakibatkan penggangguran besar di negaranya. Protokol itu mewajibkan 40 negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida sedikitnya 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 sebelum tahun 2008-2012. AS secara global menyumbang sekitar 30,3 persen dari pemanasan global sementara Eropa sebesar 27,7 persen dan Asia sejumlah 12,2 persen. Emisi karbon per kapita AS mencapai 5 persen sementara sumbangan emisi karbon AS berdasarkan wilayah mencapai 5,47 persen.

Selama ini, bumi menjadi hangat karena dipanasi oleh matahari melalui gelombang cahaya. Namun, cahaya matahari yang masuk tidak begitu saja diterima oleh bumi. Cahaya matahari harus melalui lapisan atmosfir yang menyelebungi dan melindungi bumi.

Cahaya yang masuk diserap oleh kehidupan di bumi. Sisanya dipantulkan kembali ke angkasa melalui radiasi. Atmosfer terdiri dari campuran dari berbagai gas. Beberapa jenis gas mempunyai kemampuan menahan panas matahari yang masuk dan mencegahnya kembali ke angkasa. Ini menyebabkan permukaan Bumi tetap hangat.

Fungsinya mirip dengan panel kaca di rumah kaca sehingga gas-gas tersebut disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Tanpa proses ini, Bumi akan menjadi tempat yang dingin bahkan terlalu dingin untuk ditinggali mahluk hidup . Namun, terlalu banyak GRK akan menyebabkan suhu Bumi naik terlalu banyak.

Saat ini jumlah GRK di atmosfer adalah yang paling besar daripada sebelumnya karena polusi yang disebabkan manusia. Itu menyebabkan Bumi jadi makin panas yang memicu perubahan iklim global yang ekstrem. Gletsyer di Kilimanjaro, Italia, Swiss, Peru dan Argentina dari tahun ke tahun makin menyusut dan menghilang. Di mana-mana terjadi badai, topan kencang termasuk Badai Katrina dahsyat yang melanda New Orleans, AS pada 29 Agustus 2005. Gelombang udara panas telah menewaskan 15.000 orang di Perancis, 14.000 di Belanda, 13.000 di Portugal dan 1400 orang Andhar Pradesh, India. Hujan dengan curah hujan di atas rata-rata juga terjadi dimana-mana. Akibat cairnya es di kutub maka negeri Belanda akan langsung tenggelam karena lokasinya yang lebih rendah dari laut dan kota-kota besar dunia seperti New York, Shanghai dan Calcutta terancam tenggelam dan ratusan juta manusia bakal kehilangan tempat tinggal.

Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim gobal yang ekstrem diantaranya akan membuat musim kering yang berkepanjangan di berbagai belahan dunia yang berakibat terhadap kegagalan panen. Amerika Serikat yang selama beberapa dekade dikenal sebagai lumbung gandum dunia mungkin kelak akan lebih memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik daripada mengekspornya. Australia, salah satu lumbung gandum dunia lainnya yang tidak menandatangi Protokol Kyoto juga telah merasakan dampak pemanasan global berupa kemarau terburuk dalam 100 tahun terakhir ( Kompas, 3 November 2006, “Australia Inginkan ‘Kyoto Baru’ di Asia”).

Bangkitnya Jurnalisme Advokasi

Andaikata Al Gore terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 2000 lalu maka penulis buku laris Earth in the Balance : Ecology and the Human Spirit (1992) pasti akan meratifikasi Protokol Kyoto sehingga dampak pemanasan global tidak memburuk seperti saat ini ketika Presiden AS George W. Bush menolak untuk meratifikasi perjanjian itu pada 2002 karena lebih berpihak pada kepentingan para industrialis AS.

Melalui kuliah dan ceramahnya tentang dampak pemanasan global yang tak kenal lelah dari kota ke kota di hampir separuh negara bagian di AS mulai dari Nashville di Tennesse, Los Angeles, San Fransisco, Washington DC, New York, Columbus, Mineapolis hingga Ann Arbor di Michigan, ia menuai dukungan publik dan pers yang amat kuat. Berkat presentasinya yang sarat data ilmiah yang akurat publik diyakinkan akan bencana global yang bakal terjadi jika manusia mengabaikannya.

Apa hasilnya? Sekalipun di tingkat negara AS, menolak meratifikasi Protokol Kyoto tetapi negara bagian dan kota-kota di AS secara bertahap akan dengan patuh menaati Protokol Kyoto tersebut. Dimulai dari negara bagian California, Oregon, Pensylvania dan diikuti pula negara bagian dan kota-kota di AS lainnya. Sesuatu yang ironis, bukan?

Langkah Al Gore bukannya tanpa halangan. Seorang ilmuwan bernama Philip Cooney yang semula bekerja pada American Petroleum Institute dan kemudian diangkat Presiden George W. Bush sebagai Kepala Staf Bidang Lingkungan di Gedung Putih berkali-kali melakukan pemutarbalikkan fakta tentang pemanasan global dalam laporan-laporan yang dikeluarkan Gedung Putih. Al Gore menyebut itu sebagai tindakan Gedung Putih yang memalukan sambil menyindir, “It is difficult to get a man to understand something when his salary depends upon his not understanding it.”

Ceramah Al Gore tidak hanya sebatas di dalam negeri, ia pun mengunjungi puluhan kota di luar negeri dari Toronto, London, Wina, Stockholm, Helsinki, Brussel, Geneva, Munich, Tokyo, Seoul hingga Beijing. Sambutan yang diperolehnya umumnya sangat hangat. Tidak mengherankan bila David Carr, seorang kolumis harian Times berpendapat, film dokumenter “An Incovenienth Truth” atau produksi National Geographic semacam “March of the Penguins” bakal menjadi kendaraan yang ampuh bagi bangkitnya jurnalisme advokasi baik di media cetak maupun elektronik. Film dokumenter semacam itu mampu menggantikan isu-isu yang membosankan sekaligus menampilkan figur seseorang menjadi tontonan yang menghibur.

Tampaknya jurnalisme advokasi bakal menjadi genre jurnalisme baru yang didasarkan pada fakta namun didukung dengan data-data yang akurat dan spesifik atas isu tersebut dan disajikan secara memikat. Jurnalisme advokasi umumnya berfokus pada kisah-kisah yang berhubungan praktik bisnis perusahaan, korupsi politik dan isu sosial lainnya. Sudah sepatutnya media-media di Indonesia melakukan terobosan-terobosan inovatif agar dapat menghadirkan pula sajian atau tayangan jurnalisme advokasi yang menghibur di tengah carut-marutnya situasi sosial, ekonomi, politik dan hukum di negeri ini.

Misalnya, soal ketahanan pangan kita bila terjadi krisis pangan global? Masih bisakah kita mengonsumsi mi dan tahu bila bahan terigu dan kedelainya masih saja diimpor? Masih latahkah kita dengan budaya impor beras di saat petani panen ketimbang menggalakkan program swasembada beras / pangan? ***

No comments: