Sunday, December 3, 2006

GEORGE W. BUSH & THE BUTTERFLY EFFECT

Oleh Ari Satriyo Wibowo

Senin, 20 November 2006, Presiden AS George W. Bush hadir selama 6 jam di Bogor. Sekalipun partai Republik yang mendukungnya baru saja mengalami kekalahan pahit di DPR dan Senat AS, sosok kontroversialnya tetap saja menonjol. Dimulai dari kemenangannya dari Al Gore dalam Pemilu 2000, penolakannya menandatangani Protokol Kyoto 2002 hingga keputusannya menyerbu Irak secara unilateral tahun 2003 yang kini makin menyulitkan posisinya.

Dalam chaos theory dikenal istilah Efek Kupu-Kupu (The Butterfly Effect) yang mengacu pada penemuan bahwa pada sistem yang kacau, sebuah gangguan yang kecil di dalam sebuah sistem terkadang mendorong terjadinya perubahan besar terhadap keseluruhan sistem. Istilah tersebut muncul dari khasanah iptek di AS bahwa kepakan kecil sayap kupu-kupu dapat menciptakan perubahan kecil di atmosfer tetapi sekaligus mampu memicu terjadinya badai Tornado nan dahsyat.

Prinsip yang sama berlaku di masyarakat manusia. Perubahan yang kecil dalam sikap pandang seseorang pada suatu kesempatan ternyata mampu mendorong ke arah perubahan mendasar di dalam masyarakat secara keseluruhan.

Al Gore, Wakil Presiden AS (1993-2001) di masa pemerintahan presiden Bill Clinton, adalah korban Efek Kupu-Kupu di kancah politik. Ketika Gore menjadi calon presiden dari Partai Demokrat berpasangan dengan Senator Joseph Lieberman pada tahun 2000, ia dikalahkan secara menyakitkan pasangan Partai Republik George W. Bush, Gubernur Texas yang berpasangan dengan Dick Cheney.

Gore sesungguhnya memenangkan “popular vote” lebih dari 500.000 suara dari sekitar 105 juta pemilih di AS. Namun, ia gagal memenangkan “electoral vote” setelah 25 electoral votes di Negara bagian Florida dinyatakan merupakan milik Bush. Gore merupakan kandidat presiden AS pertama yang memenangkan “popular vote” tetapi kalah dalam “electoral votes”.

Penyumbang terbesar kegagalan Al Gore menjadi Presiden AS sesungguhnya akibat "Efek Kupu-Kupu" yang dilakukan seorang desainer grafis. Pada tahun 2000, Theresa LePore memiliki gagasan untuk memperbesar jenis huruf (font) yang terdapat pada kartu pemilihan umum yang ia rancang untuk Pemilu Presiden AS di kawasan Palm Beach, Florida, AS dengan alasan agar lebih mudah dibaca para pemilih. Namun, tanpa disadarinya desain baru kartu dengan dua halaman yang sama itu telah membuat bingung para pemilih tentang bagian mana yang seharusnya dicoblos.

Sebagai hasilnya, 19.120 pemilih mencoblos gambar Pat Buchanan dan Al Gore sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Sejumlah 3,407 pemilih dinyatakan memilih Pat Buchanan, hal yang mengejutkan Pat sendiri karena ia menduga hanya akan memperoleh ratusan pemilih saja. Sehingga diperkirakan ada 22.000 suara untuk Al Gore yang tidak terhitung atau salah coblos. Hasilnya seperti ditetapkan Mahkamah Agung AS bahwa George W. Bush yang memenangkan “electoral votes” di Florida, AS dan berhak masuk ke Gedung Putih. Sudah selayaknya, Bush berterima kasih atas jasa Theresa LePore.

Tanpa adanya "Efek Kupu-Kupu" seperti itu akankah Al Gore menjadi Presiden AS dan dunia menjadi lebih damai? Mampukah Gore menyelesaikan konflik Israel dan Palestina dengan adil? Akankah dia menyatakan Irak sebagai salah satu Poros Setan yang layak diserang terlebih dahulu karena memiliki senjata pemusnah massal yang berbahaya dengan konsekuensi perang yang berlarut-larut? Tidak ada yang tahu dengan pasti.

Drama Kain dan Habel Berulang

Satu hal yang sudah pasti bila Al Gore terpilih sebagai Presiden AS maka ia akan meratifikasi Protokol Kyoto sehingga dampak pemanasan global tidak memburuk seperti saat ini ketika Presiden AS George W. Bush menolak untuk meratifikasi perjanjian itu pada 2002 karena lebih berpihak pada kepentingan para industrialis AS. Namun, begitulah kenyataannya, di kancah politik terkadang yang buruk justru menuai keberuntungan.
Garry Lange dan Todd Domke dalam bukunya berjudul Cain and Abel at Work : How to Overcome Office Politics and the People Who Stand Between You and Success (Broadway Book, New York, 2001) membahas tentang ketidakadilan sejak manusia tercipta. Apalagi di bagian wal buku ini disajikan judul yang menggelitik : Why Good Things Happen To Bad People? Adakah yang salah dengan dunia ini?

Seperti diketahui dalam pelajaran agama kita mengenal adam dan hawa. Setelah terusir dari sorga, keduanya dikarunia dua anak laki-laki yakni Kain dan Habel. Kain hidup dari bercocok tanam sementara Habel memelihara ternak. Rupanya hanya persembahan Habel yang diterima Allah. Hal itu memimbulkan iri dan dengki di hati Kain, sang kakak. Karena gelap mata dipukulnya Habel hingga tewas. Terjadilah peristiwa kriminal pertama di dunia.

Kain melarikan diri dan di perantauan menemukan jodohnya. Kain memiliki anak bernama Enokh dan menyebut kediamannya dengan nama yang sama. Kondisi itu menjadikan kain seorang pengembang real estate pertama layaknya Donald Trump di masa kini. Kain juga merupakan politisi pertama. Ia pandai bicara, licin, pantang menyerah dan penuh ketamakan untuk menguasai dunia.

Kain adalah tipikal manusia yang dikuasai oleh nafsu iri, tamak, dengki, loba, aniaya dan angkara murka. Sementara Habel dikenal jujur, pekerja keras dan tak banyak bicara. Anehnya, nasib Kain justru selalu mujur. Kekayaannya berlimpah ruah. Kondisi macam itu berlangsung terus hingga abad ke-21. Meski tak ada manusia yang 100 persen berwatak setan maupun 100 persen berhati malaikat, kenyataannya lebih sering tampuk kekuasaan dipegang manusia dengan karakter Setan seperti Kain. Mudah-mudahan pelajaran dari kekalahan Partai Republik dalam pemilu sela lalu mampu menjadikan Presiden George W. Bush berwajah Habel daripada Kain dalam dua tahun sisa masa pemerintahannya. Semoga.***

No comments: