Wednesday, December 6, 2006

PETER B. STOK TURN AROUND LEADER SEJATI BANK NIAGA

Oleh Ari Satriyo Wibowo

Beberapa minggu lalu bertempat di Gedung MMUI lantai 3 Salemba Jakarta diselenggarakan diskusi buku berjudul Bank Niaga, Pantang Menyerah Didera Krisis. Buku itu sesungguhnya sudah terbit tahun lalu dalam rangka memperingati 50 tahun Bank Niaga yang berdiri tahun 1955.

Bank Niaga merupakan bank nasional yang dimiliki para wirausahawan terkemuka seperti Soedarpo Sastrosatomo, Wibowo, Hasyim Ning, Idham, Jo Eng Liang, Pang Lay Kim dan Julius Tahiya. Berkat kemitraan dengan Citibank yang dirintis pada tahun 1975 Bank Niaga berhasil melahirkan kader-kader professional dan tangguh.

Kehebatan Bank Niaga terbukti ketika Indonesia memasuki masa krisis ekonomi pada tahun 1998. Bank Niaga berhasil lolos dari jeratan krisis sekalipun sempat masuk dalam program rekapitulasi BPPN pada tahun 2000.

Diskusi tersebut dihadiri Peter B Stok selaku Presiden Direktur Bank Niaga, Heru Budiargo selaku Direktur Eksekutif Bidang Kepatuhan Bank Niaga, Prof. Achmad Santosa selaku Guru Besar Corporate Governance dan Kepala Pusat Pengembangan Akutansi FE UI dan Dr. M. Chatib Basri sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan RI serta wakil dari Aksara Karunia selaku penerbit buku.

Bank Niaga termasuk dalam deretan akhir bank-bank yang masuk program rekapitulasi BPPN yakni pada 31 Mei 2000 sebesar Rp 9,462 triliun dengan kompensasi 97,15 persen saham dimiliki pemeriintah. Peter B Stok yang selama tiga tahun berada di luar Bank Niaga diminta kembali pada Juni 2000. Ia dipercaya BPPN untuk menjadi nakhoda Bank Niaga sebagai presiden direktur.

Peter menemukan penyakit kronis Bank Niaga yakni negative spread dan angka non performing loan yang amat tinggi. Dengan fix rate return 12 persen sementara cost of fund SBI sebesar 16-18 persen maka bank mengalami negative spread minimal 4 persen. “Dalam kondisi seperti itu sebuah bank tidak bisa hidup dalam 2 tahun,” ujar Peter B. Stok.

Sedangkan, untuk menangani kredit macet ia membentuk special asset management group atau SAM group. “Rekapitulasi dilakukan pada account yang tergolong kategori 5 yakni kredit macet, “ tambahnya.

Persoalan lain yang ditemukan Peter pasca krisis adalah moral kerja karyawan yang merosot. Motivasi kerja hilang karena tidak ada kenaikan gaji, bonus maupun program pelatihan yang akhirnya berpengaruh pada service quality Bank Niaga.”Saya melakukan compensation adjustment untuk merangsang kembali motivasi karyawan. Dan mereka melek lagi,” kata Peter. Setelah motivasi terbangun, ia mengajak karyawan untuk bekerja berdasarkan hasil. Artinya, sebelum melakukan pekerjaan karyawan diminta memilih pekerjaan yang paling memberikan hasil atau keuntungan.

Karena masalah yang diderita Bank Niaga cukup banyak maka Peter membagi menjadi sembilan prioritas. Mulai dari memperbaiki kualitas layanan, menanggulangi kredit bermasalah, memperbaiki kesehatan bank, melakukan divestasi, memperkuat struktur neraca, mengembalikan status pengawasan dari BPPN ke BI, konsolidasi anak perusahaan, meningkatkan motivasi karyawan hingga pencapaian target yang tercantum dalam rencana bisnis yang diajukan ke BPPN.

Perubahan lainnya, bila sebelumnya Bank Niaga menekankan sebagai corporate banking maka kini lebih menekankan segmen ritel yakni berupa consumer banking. Perubahan besar pun terjadi, bila selama kurun 1955-2002 Bank Niaga hanya memiliki sekitar 500.000 nasabah. Maka, setelah 5 tahun menggarap pasar ritel terjadi tambahan sekitar 1,5 juta nasabah hingga menjadi 2 juta nasabah saat ini.

Prestasi lain yang diraih Bank Niaga adalah keberhasilannya sebagai mortgage bank atau bank penyelenggara kredit kepemilikan rumah (KPR) nomor dua setelah BTN. Selama kurun 2004-2005 terjadi peningkatan nasabah KPR hingga 100 persen ketika bank-bank lain mengabaikan sektor ini.

Oleh karena Bank Niaga tidak mungkin menjadi bank for everything maka Peter B. Stok pun menetapkan sasaran pasarnya adalah high end commercial serta mass affluent/ affluent market. Sedangkan sector yang ingin dipeliharanya adalah kredit kepemilikan mobil dan kartu kredit.

Meski kini pemegang saham mayoritas adalah Commerce Asset Holding Berhad (CAHB) dari Malaysia pada tahun 2002 namun Bank Niaga tetap mempertahan keberadaan professional yang berasal dari Indonesia. Bank Niaga pun tetap menjaga citranya sebagai prudential banking dengan memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan maksimal Rp 200 miliar.

Dalam diskusi tersebut Prof . Achmad Santosa memuji Good Corporate Governance yang diterapkan Bank Niaga sejak pertengahan tahun 1970-an ketika bank itu bermitra dengan Citibank. Hasilnya, sekalipun terimbas krisis moneter, apa yang terjadi pada Bank Niaga adalah murni akibat dampak krisis ekonomi bukan akibat moral hazards.

Sedangkan, Dr. M. Chatib Basri menilai bahwa krisis yang dialami Indonesia tidak akan separah seperti yang dialami saat ini andai saja pemerintah Orde Baru menata terlebih dahulu sektor riil dengan benar baru kemudian disusul sektor finansial. Yang terjadi disini sebaliknya, justru sektor finansial dulu yang dibenahi melalui deregulasi perbankan dan Pakto 88 pada tahun 1988 sementara sektor riil belum tertata rapi. Akibatnya krisis yang dialami Indonesia lebih lama pulih dibandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan.***

2 comments:

Eya Fairy said...

Hai, gue tau alamat blog lo dari email yang lo forward ke email Friendster gue. Lo penulis ya? Ajarin dong.....Bagi - bagi info ya?

Eya Fairy said...

eh sorry, ini alamat blog gue, mampir ya??
http://www.emily-yumi.co.nr