MEMAHAMI FUNDAMENTAL INVESTASI
Oleh Perry Erick Renaldo
Our prospertity as a nation depends upon the personal financial prosperity of each of us as individuals
George Clason
Bisakah Saya Pensiun? Tulisan ini merupakan relfleksi pemikiran saya atas apa yang telah saya pelajari mengenai uang, kekayaan, investasi dan pensiun. Saya telah melihat banyak orang yang tidak bisa pensiun dengan tenang pada masa tuanya yang disebabkan tidak cukupnya kekayaan yang dibangun semasa usia kerjanya.
Saya juga mengamati bahwa banyak dari orang yang pada saat ini sedang berada pada usia kerjanya, tidak atau kurang mempersiapkan masa pensiunnya. Tidak seperti di Amerika Serikat dan Singapura, dimana usia adalah 65 tahun, di Indonesia seseorang mencapai pensiun pada usia 55 tahun. Sepuluh tahun lebih cepat. Dengan asumsi usia bila kita mencapai 75 tahun saja, maka setelah pensiun, masih ada waktu hidup selama 20 tahun. Suatu masa yang tidak pendek. Survei di Amerika menunjukkan bahwa hanya dua dari 100 manula (di atas 65 tahun) yang bisa hidup mandiri. Sisanya harus bekerja atau hidup dari tunjuangan, baik dari keluarga mau pun pemerintah.
Oleh karena itu timbul lah pertanyaan: apakah saya bisa pensiun dengan tenang dan kalau bisa, bagaimana caranya?
Pada tahun 1892, seseorang bernama Stanley Lebergott melakukan kajian di Amerika dan menemukan bahwa dari 4,047 jutawan Amerika, 84% di antaranya adalah orang kaya baru (nouveau riche), mencapai predikat jutawan tanpa warisan sama sekali.
Sekitar seratus tahun kemudian, Thomas Stanely, Ph.D melakukan penelitian pada tahun 1996 dan menemukan fakta bahwa hanya 3,5 juta dari 100 juta rumah tangga di Amerika yang berpredikat kaya dimana 80%-nya adalah one-generation self-made millionaires.
Banyak orang, yang merasa anti atau memiliki sentimen negatif mengenai kata kaya. Dalam bahasa Inggris, selain rich, ada kata lain yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia namun memiliki pengertian yang sama dengan rich, yaitu: affluentdan wealthy. Jadi, setiap kali saya menyebutkan kata kaya, saya juga merujuk kepada kata affluent dan wealthy.
Jadi, mengapa kita harus kaya? Sederhana: Untuk bisa pensiun dengan penuh gaya, Anda harus kaya Saya tidak tahu apa definisi seseorang tentang menjadi kaya, tetapi untuk bisa pensiun dengan penuh gaya (jalan-jalan keliling dunia, mengunjungi cucu, golfing, tanpa menerima bantuan keuangan dari siapa pun) saya pikir orang orang tersebut harus memiliki sejumlah kekayaan yang cukup.
Kaya, bisa berarti tidak memilik hutang, punya kesehatan yang baik, punya teman dan keluarga yang memperhatikan. Tetapi dari sisi finansial, kekayaan jelas diukur dari angka rupiah yang dimiliki. Thomas Stanley sendiri mendefinisikan being affluent --- secara kualitatif --- adalah kemampuan untuk hidup lebih dari 10 tahun, tanpa bekerja sama sekali.
Bila Anda seperti saya, berumur di awal 30, yang artinya memilik rentang waktu 20 tahun untuk mempersiapkan pensiun, maka investasi bisa merupakan jawabannya. Sebenarnya, tidak harus berinvestasi, tetapi ini bisa menjadi salah satu caranya. Adalah suatu hal yang masuk akal bahwa Thomas Stanley menemukan korelasi positif antara menabung dan berinvestasi dengan kekayaan.
Sama seperti Stanley Lebergott dan Thomas Stanley, saya percaya bahwa pada era pada saat ini, tidak seperti pada era kerajaan dulu, adalah mungkin bagi orang yang biasa-biasa saja untuk membangun sebuah kekayaan dalam satu generasi. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan fundamental dari investasi, faktor resiko yang ada dan menjelaskan secara singkat bagaimana cara berinvestasi. Saya menyadari bahwa data yang saya rujuk kebanyakan bukan dari Indonesia, namun saya percaya bahwa dalam investasi ada hukum universal, sama seperti gravitasi; baik di Inggris mau pun di Indonesia, Sir Isaac Newton akan melihat apel jatuh ke bawah.
Saya berharap bahwa tulisan ini memberikan pencerahan bagi pembaca untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut mengenai dunia investasi.
Perkenalkan: Fiat Money
Seorang ahli sejarah pernah mengatakan bahwa hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak pernah belajar darinya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia finansial. Pada tahun 1918, Jerman menelan pil pahit, yaitu kalah dalam PD 1 dan diwajibkan untuk membayar hutangnya. Dalam tekanan untuk membayar hutang, Pemerintah Jerman mencetak uang sebanyak-banyaknya sehingga sesaat sebelum PD 2, mata uang Jerman turun drastis, dari Mark 4 per US Dollar, menjadi Mark
4.000.000.000.000 per US Dollar (Empat Triliun Mark per US Dollar)..!
Di Koran Tempo, 14 November 2005, ada artikel berjudul: “Ingin Sejahtera? Menabunglah”. Sebuah kepercayaan konvensional, yang sayangnya adalah ilusi. Mengapa? Jawabannya adalah Fiat Money. Bila dulu setiap uang yang dicetak selalu dicadangkan sejumlah emas (disebut: gold standard), namun sejak tahun 1970-an, hal ini sudah tidak ada lagi. Fiat Money adalah uang yang diterbitkan pemerintah sebagai alat pembayaran yang sah, dimana nilainya semata mengacu kepada kesepakatan atau hukum, bukan atas nilai sesungguhnya (seperti yang pernah terjadi pada uang berbasis logam), juga bukan atas cadangan logam mulia tertentu. Terbitnya Fiat Money mendorong apa yang dikenal dengan inflasi.
Sejak tahun 1949 hingga 1995, Deutsche Mark, salah satu mata uang terkuat di Eropa, telah kehilangan 71% dari nilainya. Sedangkan US$1 pada tahun 1801, setara dengan US$0.07 (7 sen) pada tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi pada rupiah.
Menabung adalah landasan untuk menjadi kaya, namun tidak bisa membuat orang menjadi kaya
Menaruh uang di bank hanyalah untuk mempertahankan kekayaan (bila Anda sudah kaya) bukan untuk menjadi kaya. Dengan menabung, kita mendapatkan risk-free rate, yaitu tingkat pengembalian yang dikatakan tidak mengandung resiko. Saya menekankan kata ‘dikatakan’, karena itulah anggapan konvensional. Tidak mengandung resiko, karena tingkat pengembalian uang sudah dipastikan.
Bagaimana bank Anda bisa memberikan 6%? Tentunya, dengan mendapatkan return melebihi 6%. Adalah wajar bahwa untuk mendapatkan return melebihi apa yang dijanjikan kepada nasabahnya, bank menanggung resiko. Dan seperti conventional wisdom lainnya: ‘Saya tidak mau menanggung resiko dengan uang saya’.
Namun, apa yang ditemukan oleh Thomas Stanley? There is a strong correlation between one’s willingness to take financial risk and one’s level of wealth (The Millionaire Mind karangan Thomas Stanley, Ph.D. halaman 12. Huruf miring ditambahkan untuk penekanan.)
Adalah tujuan saya untuk menunjukkan apa itu resiko dan bagaimana cara untuk mengaturnya dan bukannya menghindarinya.
Apa yang Seharusnya Ditakutkan
Jadi, apa yang seharusnya ditakutkan? Bukannya tidak punya uang (yang biasanya ditabung), tetapi tidak memiliki daya beli (purchasing power) yang cukup untuk menopang hidup.
Di bawah ini adalah tabel dari biaya hidup dengan asumsi inflasi sebesar 10% / tahun.
Tabel 1 Biaya Hidup – Disesuaikan Inflasi Usia Biaya Hidup per bulan
(Th) (Rp)
30 5.000.000
35 8.052.550
40 12.978.712
45 20.886.241
50 33.637.500
55 54.173.530
60 87.247.011
65 140.512.184
70 226.296.278
75 364.452.418
80 586.954.264
Andaikan pada saat ini, Anda adalah seseorang yang berusia 30 tahun, dan pada saat ini memerlukan Rp 5 juta per bulan untuk menunjang hidupnya, maka Anda memerlukan Rp 54 juta per bulan pada saat pensiun di usia 55 tahun. Dan ingat, bahwa ini hanya sekedar untuk menyamakan daya beli pada saat Anda berusia 30 tahun, bukan untuk melebihinya...!
Yang menambah payah adalah bahwa pada saat berusia 30-40 tahun, kita tidak merasa perlu untuk mempersiapkan hari tua; merasa bahwa penghasilan dan uangnya akan terus bisa diterima dan bertambah.
Pada saat ini, hampir tidak ada perusahaan yang menawarkan uang pensiun dan kalau pun ada, saya ragu bahwa jumlahnya mecukupi untuk penghidupan yang layak. Lagipula, bergantung kepada orang lain atau institusi lain untuk menopang hidup kita adalah suatu hal yang sangat tidak bijaksana.
Di Mana Tempat Berinvestasi
Pada saat ini ada banyak cara untuk berinvestasi, ada yang mengatakan emas atau logam mulia lain, ada yang mengatakan surat hutang pemerintah, juga ada yang mengatakan pasar saham. Mana yang paling baik?
hutang yang diterbitkan pemerintah, disebut Treasury Bill dan Treasury Bond3 di Amerika, sedangkan di Indonesia disebut Surat Utang Negara (SUN), biasa disebut sebagai investasi fixed-income securities. Disebut fixed karena tingkat pengembalian telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan investasi di saham (sering juga disebut equity) tidak memiliki kepastian akan tingkat pengembalian. Hal inilah yang menyebabkan investasi di dalam instrumen surat hutang pemerintah disebut risk-free4.
Adalah menarik bahwa 95% dari jutawan Amerika masuk ke dalam pasar saham sebagai tempat berinvestasi. Mungkin itu bisa menjelaskan sesuatu. berinvestasi di dalam pasar saham berbahaya dan memiliki resiko tinggi dan seharusnya dihindari? Bukankah pola investasi di dalam pasar saham bersifat random walk? Dua buah penelitian yang dilakukan oleh James O’Shaughnessy dan Jeremy Siegel menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, sesungguhnya pasar saham memiliki pola yang baku.
Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Siegel menemukan bahwa real return (hasil yang didapat setelah inflasi) dari pasar saham jauh melebihi surat hutang, emas, dan tidak diragukan lagi: bila kita menyimpan dalam bentuk uang kontan di dalam laci.
Di gambarkan bahwa dollar jatuh setelah selama ±150 tahun stabil. Dalam kurun waktu 40-50 tahun terakhir ini lah terjadi penurunan yang tajam atas mata uang dollar, yaitu setelah dicabutnya gold standard. Juga bila kita berinvestasi pada instrumen surat hutang.
Bagaimana hal ini dapat terjadi? Harga saham berdasarkan aset-aset riil seperti: properti, mesin, pabrik dan ide (hak paten atau ciptaan) yang cenderung untuk mengalami apresiasi, seiring dengan terjadinya inflasi. Sedangkan surat hutang didasarkan atas janji yield yang dibayarkan dalam bentuk uang.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa tren tersebut hanya terjadi di Amerika saja. Namun, saya memiliki keyakinan bahwa mengenai investasi dan finansial, berlaku hukum yang bersifat universal, sama seperti grafitasi. Tahun 2005 ini adalah tahun yang berharga dimana pasar saham Indonesia berkali-kali didera oleh sentimen negatif, namun memperlihatkan resilency yang kokoh (lihat gambar 2).
Dari gambar 1, terlihat adanya kecenderungan mean reversion, yaitu suatu kejadian yang bila diamati dalam jangka waktu yang pendek tampak berfluktuasi namun dalam jangka waktu yang lebih panjang, tampak lebih stabil.
Sebagai contoh adalah curah hujan, yang tampak bervariasi dari hari-ke-hari, namun tampak lebih terpola bila dilihat dari tahun-ke-
tahun.
Hal yang sama juga terjadi dengan pasar saham. Dari Gambar 1 terlihat bahwa pergerakan harga saham dengan jelas mengikuti garis tren. Dan hal ini terjadi walaupun menghadapi Perang Dunia I , The Great Depression 1929, Perang Dunia 2, bearish pada 1970-an, inflasi besar-besaran dan crash tahun 1987. Reversion pun berlaku di bursa saham Indonesia. Ini adalah suatu hal yang sederhana dan logis.
Dan mean reversion ini, sesungguhnya lah yang harus diperhatikan oleh investor mau pun calon investor. Resiko dalam berinvestasi (yang diukur dari standar deviasi) memperlihatkan hal yang spektakuler, dimana resiko berinvestasi di dalam pasar saham, lebih kecil daripada fixed-income securities seiring dengan lamanya holding period.
Standar deviasi adalah pengukuran atas kecenderungan bagi sebuah varibel nilai untuk mengikuti perkembangan tren line-nya. Jadi tidak mengherankan bahwa dalam jangka waktu yang panjang, investasi di dalam pasar saham jauh lebih bak daripada bentuk investasi reksadana pendapatan tetap.
Sama seperti Siegel, saya memiliki keyakinan bahwa sama seperti inflasi berlaku atas rupiah, mean fixed-income securities atau pun instrumen lainnya.
Apa yang terjadi pada reksa dana pendapatan tetap, yang melakukan investasi dalam fixed-income asset pada hari-hari ini, dapat menjadi pelajaran bagi para investor mau pun calon investor. Sebagai contoh, saya mengikuti perkembangan sebuah unit linked dari sebuah perusahaan asuransi, yang pertama dalam bentuk saham, yang kedua diinvestasikan dalam bentuk fixed-income securities.
Hal ini mendorong keyakinan saya bahwa dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi, investasi di dalam pasar saham akan memberikan return yang lebih besar daripada instrumen finansial lainnya. Extra return yang didapat oleh investor dalam berinvestasi di dalam pasar saham atas fixed-income disebut equity riskpremium.
Dalam rentang waktu 200 tahun, Siegel menemukan bahwa equity risk premium di Amerika adalah 3%.
Reksa Dana Berbasis Saham Sebagai Sarana
Untuk dapat berinvestasi, langkah pertama adalah: menabung. Saya tahu dan memaklumi bahwa dengan naiknya BBM dan tingginya tingat inflasi pada tahun ini akan mengurangi kemampuan menabung.
Tapi, paksakanlah untukmenabung. Satu rupiah yang ditabung dan diinvestasikan akan menjamin hari depan Anda. Buatlah target untuk menabung, setiap menerima gaji, sisihkanlah terlebih dahulu untuk tabungan, sisanya untuk konsumsi.
Dari tabungan yang ada, kemudian investasikanlah. Karena bagi kebanyakan orang tidak percaya akan kemampuan mereka untuk melakukan investasi, maka salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan membeli Reksa Dana. Reksa dana adalah kumpulan dana yang dikelola secara professional oleh Manajer Investasi (Fund Manager).
Ada beberapa keuntungan dalam berinvestasi instrumen ini, yaitu:
(a) Memungkinkan untuk memulai investasi dengan dana yang kecil. Pada saat ini, seseorang dengan dana Rp. 250.000 sudah dapat membeli reksa dana. Sementara itu untuk membeli saham di Bursa Efek Jakarta, diharuskan untuk membeli minimal 500 lembar (setara dengan 1 lot) saham dan kelipatannya.
(b) Biaya masuk (entry fee) yang kecil, rata-rata kurang dari 1%. Sebagai perbandingan, ada
sebuah perusahaan asuransi menawarkan investment account dan mengenakan entry fee sebesar 5%.
Pada saat ini, ada beberapa jenis reksa dana yang ditawarkan, yaitu:
1. Reksa Dana Saham.
2. Reksa Dana Pendapatan Tetap.
3. Reksa Dana Terproteksi.
4. Reksa Dana Kombinasi.
Untuk mendapatkan return yang tinggi, Reksa Dana Saham adalah pilihan yang paling tepat. Saya melakukan pegamatan atas dua reksa dana yang dihubungkan dengan saham dan inilah hasilnya pada hari terbaik dan terburuknya.
Tabel Return Reksa Dana Saham
RS1 RS2 IHSG
Hari Terbaik 34,50% 29,85% 20,21%
Hari Terburuk 0,16% -0,81% -0,69%
Volatilitas (naik-turunnya harga) adalah hal yang perlu diperhatikan dalam berinvestasi produk Reksa Dana Saham. Untuk dapat sedikit meredakan volatilitas ini dapat melakukan kombinasi dengan produk Reksa Dana Pendapatan Tetap. Bagaimana dengan Reksa Dana Terprokteksi? Karena reksa dana jenis ini diinvestasikan kembali ke dalam SUN, saya memperkirakan bahwa return dari reksa dana jenis ini akan di bawah saham. Penggunaan Reksa Dana dan Reksa Dana Terproteksi adalah untuk mengurangi volatilitas investasi.
Untuk bisa pensiun kaya, adalah penting untuk mendapatkan return yang lebih tinggi daripada inflasi.
Jenis investasi ini mirip dengan Guaranteed Investment Contract (GIC), biasa disebut juga stable fund, dimana seseorang mendapatkan kepastian pengembalian uang pokok beserta sejumlah bunga. Namun seperti yang ditemukan oleh O’Shaughnessy, investasi dalam GIC memberikan pengembalian yang kecil dibandingkan saham.
Bukan kehilangan uang pokok yang kita kuatirkan, tetapi kehilangan daya beli lah.
Compound return 17% per tahun berarti aset akan bertambah 2 kali lipat setiap ±4 tahun sekali. Jika inflasi adalah 10% per tahun, maka kebutuhan akan berlipat 2 setiap ±8 tahun sekali. Dengan demikian pertumbuhan aset finansial akan melebihi pertumbuhan kebutuhan hidup.
Kemudian, rentang waktu investasi adalah hal yang perlu diperhatikan juga. Sepuluh tahun, bukanlah waktu yang lama… Saya yakin, bahwa masih banyak dari kita yang ingat pada waktu kita SMP atau bahkan SD. Yang perlu dikuatirkan adalah sepuluh tahun ke depan..! Di mana harga-harga akan naik, oleh karena inflasi.
Tantangan Dalam Berinvestasi
Saya tidak bisa menyangkal sulitnya untuk menjaga emosi pada saat investasi Anda mengalami penurunan. Untuk itu, visi jangka panjang, mendidik dan memotivasi diri sendiri perlu untuk dipupuk setiap saat. Pada saat ini saya menikmati dan mengkoleksi setiap berita yang mengandung sentimen negatif atas pasar saham. Sembilan puluh persen tantangan dalam berinvestasi adalah how to stay in the market.
Alasan mengapa orang banyak kehilangan uang di dalam pasar saham, adalah karena mereka mencoba masuk ke pasar pada saat harga rendah dan ingin keluar pada saat harga tinggi, untuk mendapatkan capital gain. Komitmen untuk berinvestasi long-run adalah esensial.
Tabel Berbagai Berita Tentang Saham di Media Massa
3 Des 04 IHSG 1.000 Gagal Bertahan
10 Jan 05 …menjatuhkan IHSG ke level 750 di akhir tahun 2005*
19 April 05 IHSG dan rupiah turun tajam
12 Juni 05 Redemption reksa dana tak terbendung
27 Juni 05 Bursa Saham Masih Labil
6 Juli 05 Depresiasi rupiah koreksi indeks saham BEJ
19 Agust 05 Indeks BEJ terus tertekan
30 Agust 05 Kurs Rupiah dan Saham Jatuh
Sumber : Artikel oleh Ferry Latuhihin, Chief Economist BII di Koran Kompas
Sementara itu, para jutawan Amerika sebagaimana ditemukan oleh Thomas Stanley bukanlah active trading, seperti yang diperkirakan orang. Mereka tetap berada di dalam pasar, walau pun pasar sedang turun…
Saya juga melihat bahwa banyak orang yang memperlakukan Reksa Dana Saham seperti saham itu sendiri: masuk pada saat harga turun dan ingin keluar pada saat harga tinggi.
Orang-orang ini mencoba melakukan timing atas pasar. Sebuah penelitian yang menarik, dilakukan oleh Robert Goodman, mencoba melihat atas tiga orang.
Yang pertama, selalu beruntung dengan membeli saham pada harga paling rendah, setiap tahunnya.
Yang kedua, selalu membeli pada saat harga paling tinggi, sedangkan yang ketiga, tidak pernah melakukan timing, hanya membeli saja setiap tahunnya. Dimulai pada tahun 1960, tiap orang membeli dengan initial fund US$3.000.
Ini hasil yang didapat pada tahun 1996:
Orang Pertama : US$1.569.519.
Orang Kedua : US$1.318.300.
Orang Ketiga : US$1.418.037.
Dengan usaha yang demikian besar untuk melakukan timing, ternyata perbedaan yang terjadi dengan orang yang tidak melakukan, hanya sedikit saja. Tetap berada di dalam pasar lah, kuncinya..!
Begitu pentingnya untuk tetap berada di dalam pasar, hingga Jeremy Siegel dengan tegas mengatakan :
There’s never been a 20-year period when an investement in stocks failed to make money
Hal itu adalah hasil observasi selama lebih dari 200 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa investasi dalam saham memiliki lindung nilai (hedges).
Saya adalah contoh yang mengalami kerugian pada saat pasar saham jatuh pada tahun 1998. Jika saya bertahan (pada kenyataannya saya keluar), maka saya telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar pada tahun 2003/2004, pada saat pasar bullish. Saya sendiri tidak akan pernah melakukan investasi kembali ke pasar saham tanpa adanya pengetahuan yang cukup dari buku-buku yang saya pelajari. Dan pada saat ini saya masuk ke pasar menggunakan instrumen Reksa Dana Saham.
Mandelbrot menemukan bahwa passive investing, yaitu membeli sejumlah equity dan membiarkannya untuk waktu yang cukup lama, jauh lebih menguntungkan daripada aktif melakukan pembelian setiap harinya.
Saya percaya bahwa Reksa Dana Saham adalah wujud dari passive investing. Secara alamiah, kita melihat bahwa emas, minyak bumi terkonsentrasi pada bagian-bagian tertentu di bumi ini.
Demikian juga pada saham. Keuntungan di dalam pasar saham akan didapat dari terjadinya pelonjakan-pelonjakan harga yang –-- sayangnya–-- kita tidak tahu kapan.
Studi oleh Ibbotson Associates menemukan keyataan bahwa US$1 yang diinvestasikan ke dalam pasar saham, akan bernilai US$1.114 pada akhir 1995.
Tapi kalau kita kehilangan 35 bulan terbaik selama 69 tahun rentang waktu investasi ini, uang Anda hanya menjadi US$10,16. Universitas Michigan juga menemukan hal yang sama. Hasil pengamatan atas 7.802 trading days, periode 1963 – 1993, investor yang menginvestasikan US$1, dan tetap selalu berada di dalam pasar menemukan investasinya menjadi US$24,30. Sedangkan investor yang kehilangan 90 hari terbaik (setara dengan 1,1% dari seluruh trading days), hanya akan mendapatkan US$2,10. Jadi, sekali lagi, bertahanlah di dalam pasar.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Siegel. Seseorang yang melakukan investasi sebesar US$1.000 pada tahun 1929, yaitu pada saat pasar jatuh dan tetap berada di dalam pasar & melakukan reinvestasi dividen, mendapatkan US$4.440 pada tahun 1954.
Sedangkan bila pasar tidak mengalami crash, orang tersebut hanya mendapatkan US$2.720. Jadi, jatuhnya pasar dapat dianggap seperti filter bagi orang-orang yang memiliki visi jangka panjang.
Fundamental Investasi
Inilah yang sepatutnya dipahami mengenai investasi:
(1) Saham sebagai tempat investasi yang dapat memberikan return yang kompetitif. Mendapatkan return yang lebih besar adalah esensial dalam berinvestasi. Anda bisa membeli Reksa Dana yang memiliki Indeks, atau pun sekedar diinvestasikan ke pasar saham
(2) Komitmen untuk jangka panjang. Terimalah kenyataan bahwa dalam jagka pendek pasar akan volatil dan tetap lah di sana.
(3) Mulailah pada usia semuda mungkin.
(4) Aturlah portfolio Anda, sesuai dengan kemampuan mental Anda untuk menghadapi volatilitas pasar.
(5) Teruslah belajar untuk semakin memahami dunia investasi.
Penutup
Mulailah menabung dan menabung dan menabung dan menabung lagi. Kemudian investasi, investasi dan investasi. Sebagaimana Thomas Stanley menemukan korelasi yang positif antara menabung, berinvestasi dan kekayaan.
Dalam waktu 20 tahun dari sekarang, Anda akan mendapatkan keuntungan yang jauh melebihi apa yang Anda bayangkan.
Koran Kompas, 13 November 2005 menyajikan berita mengenai seorang wanita berusia 27 tahun yang menghabiskan Rp. 150.000 per hari ke café, belanja dan lainnya sebagai pelampiasan atas stres di kantor. Jika dia mengetahui mengenai manfaat berinvestasi dan hanya menghabiskan Rp. 50.000 kemudian menyimpan Rp. 100.000 per hari. Dalam waktu setahun dia bisa mengumpulkan lebih dari Rp. 35.000.000. Tiga tahun kemudian, pada usia 30, dia memiliki lebih dari Rp. 100 juta. Bila ia menginvestasikan Rp 100 juta dan membiarkannya selama 20 tahun. Dengan asumsi mendapatkan annual return sebesar 15.5% per tahun, maka uang tersebut akan menjadi lebih dari Rp 1,7 Miliar! (Sebaliknya, dengan menabung, dia tidak akan pernah bisa mengumpulkan sebanyak ini seumur hidupnya).
Dia bisa pensiun pada usia 50 tahun, membeli tiket first class dan terbang ke tempat pariwisata yang eksotik, atau sekedar membeli mobil, atau … memberikan sebagian kekayaannya kepada yayasan amal favoritnya.
Semakin hari, pensiun semakin dekat. Mulailah menabung, jangan menunggu hingga tua. Mulai jugalah berinvestasi, dan seriuslah mempelajari berbagai tawaran Reksa Dana. Bila perlu ujilah terlebih dahulu bagaimana mereka mengelola reksa dananya. Mintalah performansi reksa dana dalam waktu 5, atau bahkan 10 tahun terakhir ini.
Bandingkan dengan pergerakan inflasi dan Indeks Harga Saham Gabungan. Karena tidak semua Reksa Dana Saham yang ada dapat tumbuh di atas IHSG.
Gol kita adalah mendapat return yang mengalahkan pasar, bukan sekedar mengekor pasar. Berbincang-bincang lah dengan Fund Manager reksa dana tersebut dan mintalah kejelasan apa strategi yang dilakukan dalam me-manage dananya. Bila masih ragu, mulailah dengan sejumlah dana yang tidak banyak, kemudian ikutilah feeling dari pasar. Karena, selama Anda masih berada di ‘luar’ pasar, Anda tidak akan pernah merasakan ritmenya.
Pelajari buku-buku mengenai investasi, bergaullah dengan investor lainnya. Bila perlu, diskusikan juga dengan Fund Manager bagaimana cara mengurangi volatilitas investasi Anda.
Setelah rasa percaya diri mulai tumbuh, mulai lah menambah jumlah investasi Anda secara perlahan, sesuai dengan kemampuan. Buatlah observasi sendiri atas pertumbuhan investasi Anda. Dengan melakukan ini, saya percaya Anda akan memiliki masa depan yang sangat baik, pesiun dengan tenang dan nyaman.
Selamat memulai!
Referensi
1. How to Retire Rich, James P. O’Shaughnessy, Broadway Books, 1998.
2. How Gurus Get Risk All Wrong, Benoit Mandelbrot, et al, Fortune Magazine, July 11, 2005.
3. TheMillionaire Next Door, Thomas Stanley, et al, Long Street Press, 1996.
4.The Sovereign Individual,James Dale Davidson, et al, Simon & Schuster, 1997.
5. The Future of Investors, Jeremy J. Siegel, Crown Books, 2005.
6. What Works on WallStreet, James P. O’Shaughnessy, Mc Graw Hill, 1998.
Rekomendasi Bacaan
1. Beating the S&P with Dividends, Peter O’Shea, et al, John Wiley & Sons, Inc., 2005.
2. Stocks for the Long Run, Jeremy J. Siegel.
3. The Intelligent Investor, Benjamin Graham, 1946.
4. Triumph of the Optimist: 101YearsofGlobal Investment Return,Elroy Dimso, et al, Princeton
University Press, 2002.
Perry Erick Renaldo, bekerja pada salah satu operator telekomunikasi di Indonesia. Seorang investor otodidak. Hingga saat ini, terus mempelajari berbagai instrumen investasi. Dia percaya bahwa retire rich is achieveable.