Sunday, December 3, 2006

PELAJARAN LUHUR DARI BOROBUDUR YANG TERLUPAKAN

Oleh Ari Satriyo Wibowo


Borobudur sesungguhnya merupakan buku pelajaran raksasa bagi bangsa Indonesia yang terbuat dari batu. Jauh sebelum bangsa Amerika memiliki toko buku Barnes & Noble maupun situs penjualan buku Amazon.com di Internet pada abad ke-20 , bangsa Indonesia sudah memiliki “gerai buku raksasa” yang pantas dibanggakan pada abad ke-9 Masehi.

Sungguh sayang rasanya bila kita tidak mampu memetik pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya. Apalagi, hanya memandang Borobudur sebagai obyek rekreasi serta lokasi komersial untuk menjual cindera mata, kaus, topi maupun makanan jajanan semata.

Setelah sempat eksis selama beberapa abad, hampir selama berabad-abad berikutnya “buku pelajaran raksasa” itu terlupakan. Borobudur tersia-sia menjadi onggokan gunung batu penuh timbunan tanah dan ditumbuhi semak belukar setelah Gunung Merapi meletus pada sekitar tahun 1080 Masehi yang menciptakan kiamat bagi pusat kerajaan di Jawa Tengah yang ikut menewaskan Raja Dharmawangsa dan pusat kekuasaan beralih ke Jawa Timur.

Beruntung Sir Thomas Stanford Raffles yang menjadi Walinegara di Indonesia ketika negeri ini dikuasai Inggris selama kurun 1811-1816 memiliki kepedulian terhadap sejarah dan arkeologi. Pada tahun 1814, Raffles menerima laporan bahwa ada peninggalan purbakala di desa Bumisegoro bernama Borobudur.

Raffles kemudian mengutus seorang Belanda yang berpengalaman dalam masalah percandian bernama Cornelius. Dengan mempekerjakan 200 orang desa, Cornelius membersihkan semak belukar beserta tanah yang selama berabad-abad menutupinya. Laporan kerja Cornelius menjadi salah satu bahan penting bagi Raffles yang kemudian dimasukkannya dalam buku “History of Java” yang diterbitkan tahun 1817. Berkat uraian buku tersebut keberadaan Borobudur memperoleh perhatian luas di kalangan ilmuwan dan arkeolog di manca negara.

Pada tahun 1885, Borobudur menjadi perhatian publik dunia ketika seorang perwira zeni Belanda bernama J.W. Ijzerman menemukan adanya relief di bagian kaki candi berupa fragmen Mahakarmawibangga yang menggambarkan hukum sebab akibat (karma).


Pekerjaan besar pemugaran selanjutnya dilakukan Theodor Van Erp, seorang perwira Zeni KNIL, dibantu seorang arkeolog J. Brandes dan seorang insinyur B.W. van de Kramer antara 1907 dan 1911. Namun kerusakan demi kerusakan tetap mencemaskan. Dalam waktu 16 tahun sudah terdapat 40 bidang relief dari 120 yang menggambarkan adegan “Lalitawistara” sudah mengalami kerusakan berat. Demikian pula bagian-bagian lainnya sehingga pemugaran yang bersifat tambal sulam tidak berguna untuk menyelamatkan monumen tersebut. Yang dibutuhkan Borobudur adalah pemugaran menyeluruh. Akhirnya, pada 29 Januari 1973 badan PBB urusan pendidikan dan kebudayaan (UNESCO) bersedia menyediakan dana serta memulai pemugaran. Proyek pemugaran selesai sepuluh tahun kemudian pada 23 Februari 1983.

***

Mengapa Borobudur dapat disebut sebagai buku pelajaran raksasa yang terbuat dari batu ? Hal itu wajar mengingat begitu banyaknya gambar timbul di dinding atau relief sejumlah 166 relief di bagian Kamadhatu pada batu seberat 13.000 meter kubik itu.

Kemudian di bagian Rupadhatu terdapat empat galeri dengan 1300 relief dengan
panjang seluruhnya sekitar 2,5 kilometer yang dikelilingi sekitar 1212 panel berdekorasi indah. Sementara itu, di bagian Arupadhatu terdapat 72 stupa yang berterawang dengan lubang-lubang berbentuk segi empat. Sedangkan, pada bagian paling atas atau Sunyata hanya terdapat sebuah stupa yang tertutup rapat.

Dari bagian-bagian Borobudur itu sebenarnya kita dapat memahami bahwa hidup manusia berada pada empat level keberadaan. Banyak para ahli yang memetakan kosmologi yang ada di Borobudur seperti kosmologi India yang membagi menjadi tiga dunia. Padahal, sesungguhnya Borobudur memuat mengenai empat dunia.

Dunia pertama terletak di dasar paling bawah yakni Kamadhatu atau dunia hawa nafsu dan sifat-sifat jahat (plane of passion and lust). Pada tingkatan ini manusia terikat dan dikuasai hawa nafsu dan sifat-sifat jahat. Oleh karena itu, untuk mengendalikannya biasanya diperlukan aturan atau hukum-hukum yang keras.

Dunia kedua disebut Rupadhatu (plane of image and forms) pada level ini manusia telah dapat menguasai hawa nafsunya tetapi masih terikat pada bentuk dan rupa. Manusia pada tingkatan ini masih mengejar status dan kekayaan karena mereka amat menghargai bentuk, rupa, wujud seperti kecantikan, ketampanan, kekayaan, kemegahan dan sebagainya.

Dunia ketiga adalah Arupadhatu (plane of non form) atau dunia tanpa bentuk. Di sini manusia sudah tidak lagi mementingkan lagi pada bentuk dan rupa. Manusia di level ini sudah menyadari hakikat hidup sesungguhnya.

Sedangkan, dunia keempat disebut Sunyata (The True Existence, Absolution )
merupakan tingkatan yang tertinggi yang tak mampu lagi dijangkau dengan nalar karena telah mencapai Makrifat Tuhan. Manusia di level ini telah bebas lepas sama sekali dan memutuskan untuk selama-lamanya ikatan duniawi. Oleh karena itu, perwujudannya berupa stupa yang sama sekali tertutup, tidak berterawang lagi seperti yang terdapat di bagian Arupadhatu.

Sepintas lalu keempat tingkatan tadi mengingatkan kita pada hirarki pemahaman agama dalam tradisi Islam yakni Syariat (tahapan pengendalian nafsu-nafsu dengan menerapkan aturan-aturan yang ketat), Tarikat , Hakikat dan Makrifat.

Bagi pemeluk agama Nasrani, peristiwa penyaliban Yesus sesungguhnya dapat pula dimaknai sebagai transformasi dari tahapan tanpa bentuk menuju tahapan kasunyatan (Absolution).

Jadi, sesungguhnya Borobudur pun dapat dimaknai secara lebih universal dan bersifat lintas agama.

Menurut Borobudur manusia akan berkembang menuju kesadaran yang lebih tinggi, dari terendah yang masih dikuasai hawa nafsu hingga mencapai taraf pembebasan dari ikatan duniawi. Menggunakan matriks Borobudur kira-kira kita dapat memperkirakan di mana keberadaan umat manusia saat ini. Sebagian besar masyarakat dunia saat ini berada di level Rupadhatu karena umumnya masih mengejar status dan kekayaan. Tetapi, tidak sedikit pula yang masih di level Kamadhatu karena masih dikuasai hawa nafsu serta sifat-sifat jahat seperti korup, serakah, selingkuh, iri, loba , aniaya dan sebagainya.

Nah, di mana kira-kira letak bangsa Indonesia sekarang ini dalam konteks matriks Borobudur tersebut? Melihat prestasi bangsa Indonesia paling mutakhir sebagai bangsa paling korup di Asia, anggota perlemennya suka berkelahi, aparat penegak hukumnya menyeleweng serta negerinya rawan kerusuhan, ledakan bom dan berbagai bencana alam, tampaknya kita masih belum beranjak dari tingkat paling dasar yakni Kamadhatu.

Semua itu, karena karena kita telah melupakan bahkan sama sekali tidak mempedulikan pelajaran luhur yang terkandung dalam Borobodur. Sebuah buku
pelajaran raksasa bagi bangsa Indonesia yang terbuat dari batu dan sudah berdiri lebih dari duabelas abad yang lalu.


***

Andai saja bangsa Indonesia bersedia untuk belajar, menghayati dan mengamalkan pelajaran luhur yang diwariskan Borobudur maka ketika bangsa ini merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-60 pada tanggal 17 Agustus 2005, Indonesia sudah mencapai tahap adil, makmur dan sejahtera. Tetapi, karena mengabaikan warisan luhur yang terkandung dalam Borobudur itu, maka yang dialami bangsa ini justru meningkatnya angka kemiskinan disertai himpitan utang luar negeri yang luar biasa besar.

Kekayaan alam, flora dan fauna dijarah habis-habisan. Pasir laut yang dijual secara ilegal ke Singapura menembus angka Rp 72 triliun, pembalakan liar di Kalimantan dan Papua diperkirakan sekitar Rp 30 triliun, penyelundupan satwa langka sebesar Rp 100 triliun, ikan yang dicuri dari laut Indonesia mencapai Rp 36 triliun dan penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) paling sedikit Rp 50 triliun. Aparat penegak hukum yang seharusnya ikut menjaga praktik pencurian dan perampokan itu tidak berdaya akibat minimnya sarana. Selain itu, tidak sedikit kalangan petinggi mereka yang ternyata ikut bermain.

Sudah begitu, berbagai bencana dan musibah datang silih berganti dan bertubi-tubi mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi hingga tsunami. Tidak ketinggalan busung lapar, polio dan wabah flu burung ikut merebak. Kelangkaan BBM yang diikuti krisis listrik PLN mulai dimana-mana sehingga membuat kehidupan berbangsa dan bernegara semakin tidak nyaman.


Indonesia bukannya menjadi bangsa terhormat namun cenderung menjadi bangsa paria di tengah masyarakat dunia. Sebagai sebuah negara pun Indonesia sudah mengarah menjadi negara gagal (failure state).

Mengapa semua hal itu dapat terjadi? Selain akibat gagal melakukan pembelajaran yang benar dari warisan luhur yang terkandung di Borobudur, segala tragedi itu sesungguhnya merupakan akumulasi dari tidak seriusnya bangsa ini menangani semua praktik korupsi yang terjadi sejak zaman Orde Baru (1967-1998). Akibatnya, ketika muncul reformasi 1998 korupsi malahan semakin merajalela dan terjadi di semua tingkatan masyarakat.

Tidak mengherankan bila Indonesia pada tahun 2005 menuai prestasi sebagai negara paling korup peringkat ke -137 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,2 di antara 158 negara di dunia yang diteliti Transparency International. Angka itu sedikit lebih baik bila dibandingkan IPK Indonesia tahun 2004 yang sebesar 2,0. Dengan raihan angka tersebut maka posisi Indonesia hanya sedikit lebih baik dibandingkan negara-negara paling korup dunia seperti Angola, Republik Demokratik Kongo, Pantai Gading, Georgia, Tajikistan,Turkmenistan, Nigeria, Kamerun, Bangladesh, Haiti dan Chad.

***

Apa pun yang diperbuat manusia di muka bumi ini pada dasarnya adalah untuk berbuat baik. Cuma caranya bisa salah, bisa benar. Contoh sederhananya perampok. Apakah perampok itu untuk berbuat baik atau tidak? Mari kita telusuri dan berdialog dengan perampok itu.

“Buat apa Anda merampok?”
“Karena saya stress tidak punya uang, habis di-PHK, istri ngomel melulu.”
“Untuk apa uang hasil rampokanmu itu”
“Untuk keluarga dan untuk bersenang-senang,” jawab si perampok.

Dari jawaban itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa tujuan merampok adalah untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan kesenangan. Si perampok ingin menyenangkan dirinya setelah mengalami stress karena di-PHK. Ia juga ingin menyenangkan keluarganya. Dengan demikian, ia berusaha menjaga keseimbangan hidupnya. Niatnya baik tetapi caranya salah.


Fenomena ala perampok ini telah menjalar ke seluruh sendi kehidupan masyarakat dalam bentuk korupsi. Apa harta korupsi itu halal? Pasti haram, sama dengan uang hasil perampokan itu. Kalau ditanya untuk apa uang hasil korupsi itu, jawabnya pasti untuk membahagiakan keluarga dan dirinya sendiri.

Yang celaka adalah si koruptor tidak merasa kalau uang hasil korupsinya adalah haram, sehingga terus menerus melakukannya, apalagi kalau tidak ketahuan. Korupsi itu bisa dalam bentuk pungli, uang semir, mengurangi timbangan, harta riba, mengakali konsumen dan lain-lain. Orang yang korupsi pada dasarnya ingin bahagia, tetapi langkahnya keliru. Hal ini dapat membuat hidup mereka sengsara.

***

Sarlito Wirawan Sarwono menulis artikel di Kompas, Sabtu, 8 Oktober 2005 di halaman 6 dengan judul “Bangsa Tak Berahlak”. Ia dengan jeli membedakan ahlak sebagai jargon agama untuk budi pekerti (istilah sekolahan) dengan Moral atau Etika (istilah ilmiah). Sementara, ilmu filfasat membedakan etika (baik buruk), dari estetika (indah jelek), dan logika (benar-salah).

Masih menurut Guru Besar Psikologi UI itu, dalam berperilaku tidak berakhlak, ada niat atau kesengajaan untuk berbuat buruk, atau melanggar etika atau immoral.

Contohnya banyak sekali. Sengaja melanggar lampu merah sehingga lalu lintas macet, sengaja menaikkan harga untuk keuntungan sendiri, sengaja membeli ijazah palsu untuk mengelabui calon mertua, meminta pungutan liar, menebang hutan lindung,menyuap calo DPR, menggelapkan barang bukti, merusak sekolah karena tak lulus ujian dan seterusnya. Itu contoh ribuan bahkan jutaan.

Pantas jika Indonesia mendapat julukan salah satu negara paling korup di dunia bahkan paling munafik karena kemaksiatan berjalan seiring dengan maraknya kehidupan keagamaan bangsa ini.

Menurut logika mustahil maksiat dapat berjalan seiring dengan agama. Bagaimana mungkin agama tidak berujung pada ahlak yang baik, seperti yang selalu diteorikan?

Tentu ada yang salah. Beberapa pakar berpendapat, agama di Indonesia baru sebatas upacara, belum memengaruhi sikap mental sehingga tidak ada dampaknya pada perilaku. Tetapi, bagaimana nalarnya sehingga pendidikan dan pelajaran agama yang sudah masuk kurikulum sejak TK sampai mahasiswa tidak berdampak pada sikap?

Jika pertanyaan ini dijawab dalam teorinya para ustadz dan khatib, tidak akan ketemu penjelasannya. Karena dalil yang selalu dikemukakan pemuka agama adalah jika kita melaksanakan ajaran Tuhan dan Rasul, ujungnya pasti akhlak (dunia) dan surga (akhirat). Padahal dalil inilah yang justru diterapkan dalam praktik pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia : sejak TK murid diwajibkan menghafalkan ayat-ayat kitab suci dan doa-doa. Ulangan dan ujian seputar ayat-ayat dan doa-doa itu.

Sementara itu, menurut teori psikologi, khususnya teori belajar, yang terjadi sebaliknya. Dalam teori belajar dikatakan seseorang harus berbuat dulu (psikomotorik) baru timbul pemahaman (kognitif), akhirnya muncul sikap (afektif).

Dengan demikian untuk belajar ahlak, anak TK-SD seharusnya disuruh belajar praktik budi pekerti terlebih dahulu, misalnya, bagaimana mengucapkan terimakasih, mengapa orang harus meminta maaf, apakah hari ini sudah mencium tangan mama-papa, apakah sudah memberi makan kucing kesayangan? Dan seterusnya.

Melalui praktik budi pekerti timbul empati, yaitu kemampuan menyayangi binatang, mengagumi keindahan, menghargai dan berempati pada orang lain, dengan sendirinya akan terhindar dari sikap arogan atau mau menang sendiri.

Ketika anak belajar ayat dan doa-doa, ia akan paham apa yang dimaksud ayat dan doa itu sehingga ia tidak akan menghujat atau membunuh orang lain sambil kerongkongannya meneriakkan nama Tuhan

***

Sesungguhnya ajaran-ajaran agama yang bertebaran di sekitar kita sudah mengajarkan kita untuk selalu memelihara lingkungan dengan bijak. Dalam setiap agama mulai dari Hindu, Buddha, Kristen maupun Islam terdapat pesan-pesan agar selalu hidup harmonis dengan alam semesta.

Kapan kiranya alam semesta ini tercipta? Pertanyaan tersebut sudah cukup lam
mengusik umat manusia sejak berabad-abad silam untuk mengungkapkannya. Ada yang cukup puas dengan mitos, ada yang membuka kembali kitab-kitab suci lalu memperkirakan ataupun menciptakan peralatan yang canggih untuk mendeteksi yang lebih akurat.

Uskup Usser dan John Lightfoot dari Inggris yang hidup di abad ke-17 menaksir bahwa dunia ini tercipta pada tahun 4004 SM. Bagaimana mereka memperoleh angka tersebut? Ternyata keduanya menafsirkannya dari Kitab Injil Perjanjian Lama, yaitu Kitab Kejadian, pasal 2, ayat 2 dan seterusnya yang berbunyi :

“Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu …”

Sedangkan dalam kitab suci Al Qur’an istilah “hari” diperluas maknanya sebagai “masa” sebagaimana tertuang dalam Surat Qaaf :38, “Dan sesungguhnya telah Allah ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa.” Kembali hal tersebut dapat ditemukan dalam surat Hud : 7 maupun Al Furqan : 59.

Tekanan pada istilah “masa” tersebut mengingat kita pada pembagian periode pertumbuhan bumi oleh pakar geologi. Periode itu secara berurutan dikenal sebagai : Azicum, Erchezoicum, Protozoicum, Palaezoicum, Mesozoicum dan Cenozoicum yang keseluruhannya diperkirakan memakan waktu sekitar 2,65 miliar tahun.

Manusia sendiri sesungguhnya merupakan produk dari zaman Cenozoicum. Spesies manusia yang dikenal sebagai Homo Sapiens baru terdeteksi keberadaannya sekitar 50.000 tahun yang lalu meskipun nenek moyang manusia seperti Australopithecus Africanus, pertama kali muncul sekitar 5,5 juta tahun yang lalu. Karenanya sangat mungkin sekali bahwa manusia gua seperti Australopithecus Africanus dalam kenyataannhya tak pernah hidup berdampingan dengan mahluk Dinosaurus yang diperkirakan telah punah di zaman Mesozoicum, sekitar 65 juta tahun yang lalu.

Mengapa Dinosaurus punah? Ada teori yang mengatakan bahwa mahluk raksasa tersebut punah karena tak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim drastis, yakni tatkala memasuki zaman es. Namun, temuan ilmuwan paleontologi Jerman dari Universitas Bonn yang melakukan penggalian di Provence, Perancis menemukan bahwa penyebab kepunahan Dinosaurus adalah penipisan kulit telur Dionosaurus, sehingga menjadi sangat rentan. Hal itu berdasarkan perbandingan antara kulit telur yang ditemukan di lapisan tanah yang lebih tua yang memiliki ketebalan 2-4 milimeter
dengan lapisan tanah yang lebih muda yang hanya berketebalan 1,1-1,4 milimeter. Menipisnya kulit telur menyebabkan telur mudah rusak, tak dapat menetas dan secara perlahan tetapi pasti mengantar kepada kepunahan.

Di zaman sekarang orang dengan mudah menuduh DDT atau limbah kimia buangan pabrik sebagai penyebabnya, tetapi di zaman Mesozoic belum ada cairan kimia produk pabrikan semacam itu. Akhirnya, ilmuwan Jerman itu menemukan bahwa peningkatan populasi yang pesat dalam habitat Dinosaurus yang terbatas --- dalam rawa-rawa yang telah mengering --- telah mengakibatkan stress sehingga memicu perubahan hormonal yang menyebabkan kulit telur yang dihasilkan induk Dinosaurus makin menipis. Singkat cerita, Dinosaurus punah karena “perkembangan masyarakat Dinosaurus tidak terkelola dengan baik sesuai dengan kehendak alam” (Fred Warshofsky,Doomsday, Sphere Books, London, 1979).

Demikian pula kepunahan berbagai tumbuh-tumbuhan. Diperkirakan ada sejumlah 20.000 spesies tumbuhan di dunia ini dan 2000 spesies di antaranya sudah diambang kepunahan akibat ulah manusia. Spesies tumbuhan punah disebabkan oleh polusi dan buangan limbah industri, buangan hasil tambang dan sebagainya. World Wild Fund (WWF) memperkirakan hutan tropis yang menjadi hunian sekitar 10% hewan mamalia, burung dan tumbuhan dalam proses perusakan dalam tingkat 14 hektar per menit akibat ulah manusia.

Kita lihat sendiri akibat dari praktik illegal logging yang melanda Indonesia hutan-hutan Indonesia di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua terancam musnah. Sebelumnya kerusakan sudah ditimbulkan para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang selama lebih dari tiga dasa warsa mengeksploitasinya secara besarbesaran.

Kerusakan yang ditimbulkannya sungguh luar biasa. Akibatnya kota-kota besar di Kalimantan yang sebelumnya tak pernah dilanda banjir kini mengalami musibah banjir tahunan.

Sungguh berbeda dengan perilaku para pemegang HPH di Swedia. Di sana perusahaan HPH mempunyai sebuah kebijakan pelestarian alam yang memungkinkan perusahaan tersebut mengusahakan hutan yang menjadi haknya sedemikian rupa sehingga terhindarlah efek-efek perusakan yang permanen atas tanah dan air, mempertahankan kehidupan berbagai macam tumbuhan dan hewan, melindungi semua spesies tumbuhan dan hewan selama pengusahaan, melindungi semua peninggalan kepurbakalaan dan sejarah, serta meluluskan permintaan penduduk setempat untuk masuk dan ikut mengambil hasil hutan asal masih dalam batas kewajaran.

Pada 1996 penulis diundang untuk mengunjungi lokasi pertambangan batu bara
Balckwater di negara bagian Queensland Australia. Di sana penulis menyaksikan
bagaimana tanggung jawab lingkungan BHP yang tinggi dengan mengembalikan kondisi lahan seperti semula, sebagaimana kondisi sebelum mereka menggali batu bara.

Lapisan-lapisan tanah yang semula ada di perut bumi dikembalikan ke tempatnya sesuai urutan, dan lapisan permukaan tanah yang dapat ditanami (soil) diletakkan paling atas. Hasilnya lahan bekas pertambangan tersebut menjadi bukit-bukit kecil yang rimbun. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa di sana pernah dilakukan penggalian tambang sebelumnya.

Peter Russel dalam buku The Awakening Earth (Ark London, 1984) menggambarkan bumi sebagai organisme yang hidup. Sebagaimana layaknya manusia, bumi juga memiliki mulut, telinga, hidung, paru-paru, jantung, ginjal serta saluran pembuangan.

Oleh karena itu, kita sebagai manusia juga perlu menjaga kelestarian alam dengan sebaik-baiknya agar bumi tidak “menderita sakit” sehingga menimbulkan bencana berupa gempa, gunung meletus, angin topan, hujan badai dan sebagainya.

Dalam ajaran Hindu dikenal Dewa Wisnu sebagai sang sang pemelihara alam semesta. Ia selalu mewujud dalam sosok pemimpin teladan yang menegakkan kebenaran mulai dari Sri Rama yang berperang melawan Rahwana dari Kerajaan Alengka hingga menitis pada Sri Kresna yang menjadi sais kereta kuda Arjuna dalam ajang perang Baratayudha.

Ikuti percakapan antara Sri Kresna dan Arjuna yang tercatat di bagian keempat
(Karmajana-yoga) Kitab Bhagawat Gita ayat 5-8. Bunyi selengkapnya sebagai berikut :


(5)”Banyak kali aku dilahirkan dan engkau juga, Arjuna. Aku memaklumi tiap-tiap
kelahiran-Ku, namun engkau tidak tahu.”

(6) “Meskipun Aku tidak terlahir, sifatnya Kekal dan Maha Kuasa. Aku dapat menjelma dari gaya maya yang keluar dari diri-Ku sendiri.”

(7-8) “Karena setiap kali tampak Dharma goncang dan lalu timbul Adharma, Aku
melahirkan diriku sendiri untuk melindungi yang baik, menegakkan hukum dan
membasmi yang jahat dan ini terjadi pada setiap Yuga (masa dunia)”.

Dalam ayat-ayat tersebut terkandung pesan bahwa setiap kali dunia mengalami kerusakan, apakah itu kerusakan lingkungan maupun kerusakan moral, maka Tuhan akan datang untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Kedatangannya ke dunia ini tentu saja melalui utusan-utusannya yang terpilih.


Sedangkan, dalam kosmologi Islam, manusia memiliki peran sebagai Kalifatullah atau “wakil Tuhan di dunia.” Namun, karena manusia memiliki hawa nafsu maka jika tidak mampu mengendalikannya maka manusia berpontensi untuk merusak alam dan lingkungan. Tidak mengherankan dalam Surat Al Baqarah (2 :30) dikisahkan bagaimana para malaikat menyampaikan protes kepada Tuhan ketika hendak memberikan amanat kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Bunyi selengkapnya ayat tersebut sebagai berikut :

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. “ Mereka berkata,”Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah padanya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman,” Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”


Agaknya, tradisi-tradisi spritual lintas agama yang kini populer dengan sebutan
psikologi transpersonal perlu dikembangkan lebih lanjut. Tradisi itu lebih menekankan pada pentingnya penerangan dimensi bawah sadar yang dipahami secara baru yang tidak hanya menyimpan pengalaman pahit, tetapi juga mutiara yang mampu mengubah perilaku secara radikal. Pengalaman dalam banyak praktik spiritual terbukti menggiring setiap orang ke sumber kebaikan yang bersemayam dalam dunia batinnya.

Pemberdayaan dunia bawah sadar mampu menciptakan perubahan penting dalam perilaku. Penyadaran tersebut dapat tampil dalam beragam bentuk tergantung keyakinan yang dianutnya seperti introspeksi, refleksi, kontemplasi, meditasi, yoga, iktikaf, tafakur atau dzikir. Dengan demikian manusia akan kembali pada fitrahnya sebagai mahluk pencinta lingkungan yang selalu memelihara lingkungan hidup dan bukan menjadi perusak lingkungan. Manusia pun menjadi lebih mudah untuk mencerna, menghayati sekaligus mengamalkan pesan-pesan luhur yang terkandung di Borobudur yakni mengenai keberadaan empat dunia atau empat level kehidupan manusia yakni Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu dan Sunyata (ASW).***


Daftar Pustaka

1. HCB Dharmawan et al (editor), SURGA PARA KORUPTOR, Penerbit Kompas, Jakarta, 2004
2. Jeremy Pope (editor), Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta, 1999
3. Daoed Joesoef, Borobudur, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2005
4. Sarlito Wirawan Sarwono, Bangsa Tak Berahlak, Artikel Opini di Kompas, Sabtu, 8 Oktober 2005 di halaman 6.
5. Yohanis F LA Kahija, Pengobatan Alternatif Perilaku Korup, Artikel Opini di
Kompas, Senin, 7 November 2005 halaman 6.

1 comment:

Anonymous said...

Kalau memang Borobudur seluhur itu mengapa peradaban di sana harus dihancurkan oleh letusan Gunung Merapi pada abad ke-11 Masehi?